Sunday, December 13, 2009

Menghitung Hukum Maling 6,7 Trilyun

Masalah negeri ini memang tidak pernah tuntas. Tanah air ini memang tak luput dari permasalahan, memang sudah biasa di setiap Negara punya masalah. Yang menjadi terheran-heran negeri Indonesia bukan soal masalahnya, tapi mengenai permasalahan yang terjadi itu tak pernah terselesaikan, alias tak pernah berakhir dengan “Happy Ending”.

Semua permasalahan yang terjadi memang tidak pernah mempunyai akhir. Semua permasalahan itu adalah jalan yang tak berujung, dan hingga menghilang tak bertitik di kasat mata. Semua permasalahan yang terjadi hanya selesai dengan ditiban dengan permasalahan baru yang lebih besar. Konspirasi saat ini, akan berkahir ketika datang konspirasi yang lebih besar, bukan hilang karena solusi dan penyelesaian.

Begitu banyak dan rata-rata semua kasus di Indonesia tak pernah berakhir seperti yang diharapkan rakyat. Menilik kejadian yang berlalu, masalah BLBI, hilang ketika dana itu berputar di luar negeri dan tak bisa kembali, masalah Buaya dan Cicak hilang karena rekaman anggodo, masalah anggodo hilang ketika muncul masalah dana kucuran 6,7 trilyun, masalah 6,7T hilang ketika muncul masalah politik terbuka ical-srimulyani, masalah politik terbuka hilang ketika saling lapor, dan begitu seterusnya berturut-turut mengalahkan masalah lama dengan munculnya masalah yang lebih besar. Miris, bimbang, khawatir, ketika negeri ini tak pernah ada akhir dan penyelesaian yang memuaskan. Semua masalah hanya selesai ketika masalah yang baru jauh lebih besar daripada masalah sebelumnya. Itulah yang terjadi di Indonesia, semua permasalahan yang terjadi “Never Happy Ending”.

Begitu mudahnya hukum di Indonesia dipermainkan, terutama bagi yang punya banyak duit. Semua bisa dibelikan, termasuk hukum. Lihat saja kasus demi kasus, sebenarnya bukan tidak mampu menyelesaikan, tapi tidak ada tekat untuk menyelesaikan. Semua pada kenyang, dan semua pada diam, bagai “ tikus yang jatuh di gunungan beras”. Tak mencicit bunyinya, takut ketauan, tapi merasa kenyang dapat makanan, sungguh memalukan cuma sama dengan seekor tikus yang menjijikkan.

Ketika keadilan itu tak pernah ada, sudah tiba saatnya rakyat membuat pengadilan sendiri. Ini semua terjadi karena tidak adanya kepercayaan lagi kepada penegak hukum. Kapan ini semua berakhir, kita tak pernah tau karena memang negeri ini tak pernah berakhir dalam menghadapi permasalahan.

Lihat saja kasus Prita Mulyasari. Ketika beliau melakukan curhat apa yang benar-benar dialaminya, justru tersungkur di bui. Memang bukan masalah kurungan 3 bulannya, tapi masalah moral hati ketika dia dicap sebagai narapidana. Cap itu tak semua bisa menerima, tapi itulah rakyat kecil hanya bisa menerima dengan kepasrahan. Karena memang rakyat kecil tak berhak mendapatkan hukum dan keadilan di negeri ini.

Lihat lagi masalah nenek minah yang tua rentan. Karena memetik 2 daun tembakau yang bernilai Rp 2 ribu, beliau dikenai hukuman 1,5 bulan. Padahal ini semua dilakukan nenek minah untuk bibit tanaman, dan tentunya tidaklah merusak tanaman yang ada. Tapi itu terjadi karena dilaporkan oleh orang yang punya banyak duit.

Apakah pernah ada rakyat miskin di negeri ini memenangi kasus di pengadilan, itu mustahil. Yang menang di pengadilan semuanya orang yang banyak duit, yang punya jabatan, yang punya segalanya. Memang kemiskinan adalah masalah krusial di negeri ini. Maka dari itu rakyat miskin sudah seharusnya berpangku untuk menumpas kemiskinan itu. Karena selamanya negeri ini akan menjadi negeri mainan orang berduit, selagi kebodohan dan kemiskinan masih merata di negeri ini.

Tak ada keadilan di negeri ini. Tapi kita sebagai rakyat jelata, sudah mulai bangkit dengan adanya hukum pengadilan rakyat sendiri. Ini bisa dilihat pada kasus prita, ketika dihadapi oleh rakyat, barulah hukum rakyat jelata itu bisa mendapat kabar gembira, kalau tidak ada gerakan dukung prita, maka prita siap menjadi makanan bagi OMNIvora.

Hukuman di negeri ini memang tak pernah seimbang, dan selalu berat sebelah. Sungguh berbeda sekali dari symbol pengadilan yang digambarkan sebuah timbangan dan tutup mata patung pengadilan. Apa kita harus membuka tutup mata patung itu, biar bisa melihat jelas apa yang terjadi sekarang ini.

Rakyat kecil cukup gampang diadili, senantiasa yang banyak duit sulit. Kasus nenek minah dan kasus Century kita lihat, ketika keadilan itu tak seimbang maka rakyat pun marah, maka sudah seharusnya pengadilan rakyat memberi keputusan karena kita sudah muak.

Kita hitung-hitung saja seberapa besar yang harus diberikan hukuman kepada maling 6,7 trilyun dengan perbandingan kasus nenek minah. Kenapa dibandingkan, karena memang hukum itu harus ditegakkan, harus seimbang, tak beda antara si miskin dan si kaya. Kita tuntut itu, karena jangan sampai beda hukumannya.

Berikut adalah hitungan yang pantas mereka terima yang memalingkan uang rakyat. Uang yang seharusnya menuntaskan kemiskinan di negeri ini.

Nenek Minah (miskin): Rp 2 ribu rupiah = 1,5 bulan

Maling negara (kaya) : Rp 6,7 trilyun = 5.025.000.000 bulan = 418.750.000 tahun= 4.187.500 abad.

Kalau sudah hitungannya berabad, maka mati dalam bui adalah yang tepat (alias hukuman mati).

Itulah hukuman yang harus dilakukan pengadilan, kalau memang benar-benar keadilan ditegakkan. Jangan bedakan antara si kaya dan si miskin. Karena pengadilan itu harus sama, tak ada tebang pilih, tak terkecuali rakyat miskin.

Tapi sayang, itu semua hitungan saja. Saat ini jangankan hukuman yang diterima maling itu. Tapi masalah siapa yang memalingkan pun tidak pernah jelas dan tidak pernah tuntas. Karena mereka bekerja hanya untuk duit, untuk politik, untuk popularitas, dan untuk segala-galanya yang menguntungkan. Mereka bekerja bukan untuk panggilan suara hati, bukan untuk amanah rakyat, bukan untuk agama, dan bukan untuk Negara. Tapi mereka adalah bagian dari penghacur dan pengkhianat Negara.

Semoga masih ada sebagian orang-orang disana yang bekerja dengan suara hati dan takut akan Tuhan. Karena sudah pasti, suatu saat nanti ada pengadilan yang tak dapat dibantahkan, yaitu pengadilan Tuhan. Semua apa yang terjadi ditimbang dengan seadil-adilnya. Maka hukuman neraka jahanam yang kekalpun sudah menanti. Karena mereka sudah berani mempermainkan hukum Allah, sudah berani bermain bersumpah di Kitab suci, dan bahkan ada yang berani sebagai murtad. Tapi ingat, neraka jahanam sedang menunggu jika itu pembohongan.

Ditulis Oleh : Misriadi Mahdi

No comments:

PUSTAKA KITA

> MISRIADI BLOG
> OKEZONE
> GAME ONLINE FULLY
> DETIK
> BLOG TARGET
> VIVA NEWS
> DESIGN BLOG
> BIRU BLOG
> LOGO BLOG
> BLOG BASIS BAHASA
> HTML BLOG
> SENIOR BLOG PANUTAN
free counters



website design